PENDAHULUAN
Perkembangan industri peternakan di Indonesia saat ini kian melesat dengan ditandai meningkatnya konsumsi daging dan susu per kapita, oleh karenanya pemerintah kembali mencanangkan program untuk mewujudkan swasembada daging sapi yaitu Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS-2014), yang merupakan kelanjutan program sebelumnya yaitu Swasembada Daging 2005 dan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2010 yang. PSDS 2014 merupakan salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Program ini diharapkan berlangsung secar berkelanjutan. Swasembada yang dimaksud memiliki arti kemampuan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 90 – 95% dari total kebutuhan daging nasional. Berkelanjutan artinya, swasembada daging yang ingin dicapai adalah
swasembada yang berkelanjutan tidak hanya pada tahun 2014, sehingga perhitungan yang diperoleh tetap mempertahankan tingkat swasembada yang telah dicapai.
Swasembada daging secara langsung akan berdampak positif pada pemerintah dan para peternak. Salah satunya swasembada daging akan mampu turut serta dalam menghemat devisa. Bagi para peternak dan masyarakat program swasembada daging diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan merangsang kegiatan ekonomi di pedesaan. Bagi masyarakat luas, program swasembada daging akan ikut serta dalam penyediaan gizi dan protein hewani mengingat tanpa swasembada daging konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Jika dibandingkan dengan Malaysia yang konsumsinya mencapai 46,87 kg per kapita per tahun, Indonesia hanya mencapai 4,5 kg per kapita per tahun. Lebih lanjut, dijelaskan oleh Hall, 2004 bahwa salah satu dampak dari rendahnya konsumsi protein terlihat dari kualitas kesehatan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Human Development Index (HDI) yang salah satu indikatornya adalah kesehatan. Ranking HDI Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat 108 dari 169 negara. Jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia jauh tertinggal karena Malaysia menempati posisi ke-57.
swasembada yang berkelanjutan tidak hanya pada tahun 2014, sehingga perhitungan yang diperoleh tetap mempertahankan tingkat swasembada yang telah dicapai.
Swasembada daging secara langsung akan berdampak positif pada pemerintah dan para peternak. Salah satunya swasembada daging akan mampu turut serta dalam menghemat devisa. Bagi para peternak dan masyarakat program swasembada daging diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan merangsang kegiatan ekonomi di pedesaan. Bagi masyarakat luas, program swasembada daging akan ikut serta dalam penyediaan gizi dan protein hewani mengingat tanpa swasembada daging konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Jika dibandingkan dengan Malaysia yang konsumsinya mencapai 46,87 kg per kapita per tahun, Indonesia hanya mencapai 4,5 kg per kapita per tahun. Lebih lanjut, dijelaskan oleh Hall, 2004 bahwa salah satu dampak dari rendahnya konsumsi protein terlihat dari kualitas kesehatan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Human Development Index (HDI) yang salah satu indikatornya adalah kesehatan. Ranking HDI Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat 108 dari 169 negara. Jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia jauh tertinggal karena Malaysia menempati posisi ke-57.
Mewujudkan Swasembada Daging 2014 Sebagai Kontribusi Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal
Potensi Lokal
Secara kongkret pengertian swasembada daging adalah suatu program yang melibatkan segenap masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging yang diperoleh dari dalam negeri. Pemerintah telah mencanangkan program ini setidaknya sudah sejak tahun 2005, lantas belum tercapai. Dari kegagalan tersebut pemerintah pun mencanangkan Swasembada Daging 2010, belum selesai tahun 2010, nampaknya pemerintah harus mencanangkan kembali program Swasembada Daging 2014. Swasembada Daging 2014 akan berbasis sumber daya lokal sehingga mendorong Indonesia untuk mandiri dalam penyediaan daging dari ternak domestik. Akan tetapi hal ini sulit terwujud mengingat sapi sapi domestik memiliki kualitas sapi pedaging yang lebih rendah daripada sapi import. Perlu dipahami bahwa jenis sapi pedaging yang baik memiliki ciri tubuh yang besar, kualitas daging yang maksimal, memiliki pertumbuhan yang cepat, cepat mencapai dewasa, dan mepunyai efisiensi pakan yang tinggi. Santoso, 2010, menjelaskan bahwa di Indonesia, jenis sapi yang digunakan sebagai sapi pedaging antara lain sapi Bali, sapi Ongol, sapi Brahman, sapi Madura, dan sapi Limousin. Dari semua jenis sapi tersebut, hanya sapi Brahman yang termasuk tipe pedaging kualitas unggul. Sedangkan sapi Madura, sapi Bali, sapi Ongol, dan Limousin termasuk tipe pekerja. Walaupun hanya sedikit dari sapi lokal yang merupakan pedaging dengan kualitas unggul, akan tetapi jika dapat dikembangkan dengan baik menjadi sapi potong, sapi lokal Indonesia mempunyai banyak keistimewaan antara lain adalah: (i) reproduktivitas tinggi karena mampu menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, (ii) masa produktif yang panjang karena dapat beranak lebih dari sepuluh kali sepanjang hidupnya bila dipelihara dengan baik, (iii) kualitas karkas dan daging sangat bagus, sehingga harganya lebih mahal dari ex-import setiap kilogram bobot hidup, serta (iv) dapat dipelihara secara intensif maupun ekstensif. Namun sapi Bali dan sapi lokal murni lainnya mempunyai beberapa kekurangan yaitu kurang responsif bila memperoleh pakan prima, dan bobot potongnya relatif kecil dibanding sapi tipe besar dari jenis Bos Taurus atau sapi silangan hasil IB.
Herren, 2000, menambahkan bahwa selain dari jenis sapi, dalam industri peternakan sapi perlu memperhatikan empat faktor penentu keberhasilannya. Empat faktor tersebut diantaranya pembibitan, pemeliharaan ternak, pemeliharaan ketersediaan, dan program penggemukan yang baik. Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan swasembada daging mengingat sektor peternakan di Indonesia sebagian besar merupakan sektor peternakan rakyat yang tidak memiliki basic ilmu ilmiah dalam beternak, sehingga pemeliharaan ternak hanya dilakukan secara tradisional. Hal ini tentunya kurang efektif dalam penggemukan sapi, maka dari itu hal ini sebagai tantangan bagi para sarjana peternakan dalam mensosialisasikan ilmunya pada peternak rakyat secara luas dlm rangka bakti untuk negeri.
Kendala Dalam Mewujudkan Swasembada Daging
Rencana pencapaian swasembada daging dari tahun 2005 mengalami kemunduran waktu sampai sekarang, hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pelaksanaan mewujudkan swasembada daging ditemukan banyak kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain :
1. Pola pembibitan yang kurang intensif
2. Pengetahuan peternak untuk melakukan pembibitan masih rendah
3. Pemberian pakan yang kurang sesuai
4. Masih tingginya kasus pemotongan sapi betina produktif
5. Impor daging dan sapi potong sangat besar
6. Sulitnya peternak rakyat mendapat modal usaha
7. Bibit dan biaya pakan yang terlalu mahal
8. Tingginya angka kematian ternak
9. Terlalu rendahnya harga jual sapi
10. Banyaknya mavia import yang menyelundupkan daging
11. Distribusi ternak sulit karena Indonesia belum memiliki transportasi laut khusus untuk mendistribusikan ternak.
12. Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci.
13. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai
14. Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan tetapi lebih berorientasi pada komoditas unggulan
Upaya Mewujudkan Swasembada Daging 2014
Secara kongkret pengertian swasembada daging adalah suatu program yang melibatkan segenap masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging yang diperoleh dari dalam negeri. Pemerintah telah mencanangkan program ini setidaknya sudah sejak tahun 2005, lantas belum tercapai. Dari kegagalan tersebut pemerintah pun mencanangkan Swasembada Daging 2010, belum selesai tahun 2010, nampaknya pemerintah harus mencanangkan kembali program Swasembada Daging 2014. Swasembada Daging 2014 akan berbasis sumber daya lokal sehingga mendorong Indonesia untuk mandiri dalam penyediaan daging dari ternak domestik. Akan tetapi hal ini sulit terwujud mengingat sapi sapi domestik memiliki kualitas sapi pedaging yang lebih rendah daripada sapi import. Perlu dipahami bahwa jenis sapi pedaging yang baik memiliki ciri tubuh yang besar, kualitas daging yang maksimal, memiliki pertumbuhan yang cepat, cepat mencapai dewasa, dan mepunyai efisiensi pakan yang tinggi. Santoso, 2010, menjelaskan bahwa di Indonesia, jenis sapi yang digunakan sebagai sapi pedaging antara lain sapi Bali, sapi Ongol, sapi Brahman, sapi Madura, dan sapi Limousin. Dari semua jenis sapi tersebut, hanya sapi Brahman yang termasuk tipe pedaging kualitas unggul. Sedangkan sapi Madura, sapi Bali, sapi Ongol, dan Limousin termasuk tipe pekerja. Walaupun hanya sedikit dari sapi lokal yang merupakan pedaging dengan kualitas unggul, akan tetapi jika dapat dikembangkan dengan baik menjadi sapi potong, sapi lokal Indonesia mempunyai banyak keistimewaan antara lain adalah: (i) reproduktivitas tinggi karena mampu menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, (ii) masa produktif yang panjang karena dapat beranak lebih dari sepuluh kali sepanjang hidupnya bila dipelihara dengan baik, (iii) kualitas karkas dan daging sangat bagus, sehingga harganya lebih mahal dari ex-import setiap kilogram bobot hidup, serta (iv) dapat dipelihara secara intensif maupun ekstensif. Namun sapi Bali dan sapi lokal murni lainnya mempunyai beberapa kekurangan yaitu kurang responsif bila memperoleh pakan prima, dan bobot potongnya relatif kecil dibanding sapi tipe besar dari jenis Bos Taurus atau sapi silangan hasil IB.
Herren, 2000, menambahkan bahwa selain dari jenis sapi, dalam industri peternakan sapi perlu memperhatikan empat faktor penentu keberhasilannya. Empat faktor tersebut diantaranya pembibitan, pemeliharaan ternak, pemeliharaan ketersediaan, dan program penggemukan yang baik. Hal inilah yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan swasembada daging mengingat sektor peternakan di Indonesia sebagian besar merupakan sektor peternakan rakyat yang tidak memiliki basic ilmu ilmiah dalam beternak, sehingga pemeliharaan ternak hanya dilakukan secara tradisional. Hal ini tentunya kurang efektif dalam penggemukan sapi, maka dari itu hal ini sebagai tantangan bagi para sarjana peternakan dalam mensosialisasikan ilmunya pada peternak rakyat secara luas dlm rangka bakti untuk negeri.
Kendala Dalam Mewujudkan Swasembada Daging
Rencana pencapaian swasembada daging dari tahun 2005 mengalami kemunduran waktu sampai sekarang, hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pelaksanaan mewujudkan swasembada daging ditemukan banyak kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain :
1. Pola pembibitan yang kurang intensif
2. Pengetahuan peternak untuk melakukan pembibitan masih rendah
3. Pemberian pakan yang kurang sesuai
4. Masih tingginya kasus pemotongan sapi betina produktif
5. Impor daging dan sapi potong sangat besar
6. Sulitnya peternak rakyat mendapat modal usaha
7. Bibit dan biaya pakan yang terlalu mahal
8. Tingginya angka kematian ternak
9. Terlalu rendahnya harga jual sapi
10. Banyaknya mavia import yang menyelundupkan daging
11. Distribusi ternak sulit karena Indonesia belum memiliki transportasi laut khusus untuk mendistribusikan ternak.
12. Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci.
13. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai
14. Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan tetapi lebih berorientasi pada komoditas unggulan
Upaya Mewujudkan Swasembada Daging 2014
Pemerintah telah berupaya keras dalam mewujudkan swasembada daging. Salah satunya dengan regulasi yang telah dibuat sedemikin hingga dalam undang-undang. Sistem peternakan di Indonesia telah diatur dalam Bab IV tentang Peternakan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009. Mengenai penyediaan bibit, di dalam undang-undang ini pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan atau bakalan.
Selain itu pemerintah secara kongkret telah menetapkan 13 langkah strategis guna mencapai swasembada daging nasional. Sebagai evaluasi pelaksanaan 13 langkah strategis tersebut, perlu adanya tim independen guna melakukan monitoring dan evaluasi berkala (Yusdja et al. 2006).
Pemerintah juga telah membidik daerah-daerah yang berpotensi sebagai penghasil daging dan daerah tersebut akan terus digali potensinya. Dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3 kelompok daerah prioritas. Kelompok I Daerah Prioritas Inseminasi Buatan yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali. Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Strategi pengembangan sapi potong untuk menuju swasembada daging sapi telah dilakukan secara bertahap melalui perbaikan aspek usaha tani, pasca produksi dan penciptaan nilai tambah, kebijakan pemerintah serta perbaikan/pengembangan
pemasaran dan perdagangan dengan system kelembagaan yang sinergis. Langkah strategis ini dijabarkan dalam bentuk peta jalan (road map) menuju ”revolusi merah” pengembangan sapi potong . Pada aspek usaha tani, untuk memacu produksi perlu dilakukan (a) perluasan kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b) perbaikan mutu bibit dan reproduksi,(c) perbaikan budi daya, dan (d) perbaikan pascapanen, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi usaha tani dan pengolahan hasil. Pada aspek teknologi, perlu dilakukan penelitian secara terus-menerus untuk memperoleh inovasi teknologi dalam
perbibitan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan manajemen budi daya yang dapat peningkatkan kinerja sapi potong menjadi komoditas unggulan, antara lain :
a. Pembibitan sapi untuk menghasilkan induk maupun pejantan unggul untuk IB atau INKA. Kegiatan yang akan didukung pemerintah ini akan dilakukan oleh pusat-pusat pembibitan milik pemerintah, swasta atau masyarakat dalam suatu village breeding center (VBC).
b. Kegiatan perkembangbiakan atau cow calf operation (CCO) untuk menghasilkan sapi bakalan (feeder cattle) harus dilakukan secara ekstensif (grazing) atau secara intensif terintegrasi dengan agribisnis lainnya (crop livestock system, CLS). Kegiatan ini harus menerapkan prinsip low external input sustainable agriculture (LEISA) seperti yang direkomendasikan Badan Litbang Pertanian, atau dengan pendekatan zero waste dan bila memungkinkan mendekati zero cost, sehingga menghasilkan produk 4-F (food, feed, fertilizer & fuel).
c. Kegiatan penggemukan dilakukan dengan prinsip-prinsip agribisnis, efisiensi, dengan high or medium external input, serta berbasis pakan lokal dengan imbangan serat, energi dan protein yang ideal. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan bobot potong sesuai potensi genetiknya.
d. Tataniaga ternak hidup dan daging harus terkait erat dengan kegiatan budidaya (on farm), sehingga nilai tambah untuk peternak kecil yang mengusahakan perkembangbiakkan, pengusaha penggemukan serta pedagang, jagal dan pengecer daging relatif lebih adil, seimbang atau proporsionil.
Kegiatan untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 harus didukung dengan kelembagaan yang tepat, yang terdiri dari: (i) ilmuwan, pakar dan penyuluh, (ii) pelaku usaha, baik yang berskala menengah dan kecil maupun skala besar, serta (iii) pemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang bertindak sebagai regulator, fasilitator, motivator dan dinamisator. Keberadaan kelompok peternak atau koperasi menjadi suatu keharusan, dan kerjasama kemitraan antara pihak-pihak terkait perlu diperluas.
Menurut Menteri Pertanian, kegiatan pokok “penyediaan bakalan/daging sapi lokal” diimplementasikan dalam beberapa kegiatan operasional yaitu :
(1) Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal
(2) Pengembangan pupuk organik dan biogas
(3) Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman
(4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH)
(5) Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (InKA)
(6)Penyediaan dan pengembangan pakan dan air;
(7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. (8) penyelamatan sapi betina produktif
(9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibita;
(10) Pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre
(11) Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga (program Kredit Usaha Pembibitan Sapi/KUPS)
(12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi; dan
(13)Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging.
Selain program percepatan swasembada daging tersebut, pemerintah juga mencanangkan program pendukung lainnya. Beberapa program itu diantaranya program pembibitan ternak rakyat, program BATAMAS (Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat), program LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat), program SMD (Sarjana Membangun Desa), Sistem integrasi Tanaman –Ternak, program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian), dan pelarangan pemotongan betina produktif. Pada pengembangan program integrasi sapi- tanaman, misanya kelapa sawit-sapi mempunyai peluang yang sangat prospektif. Di dalam pola integrasi tersebut, tanaman kelapa sawit sebagai komponen utama sedangkan ternak sebagai komponen pelengkap. Limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan adalah pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit.
Perkiraan Swasembada Daging 2014
Pada tahun-tahun sebelumnya produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 masih berfluktuasi. Dari tahun 2005 sampai dengan 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,2 %, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18,8 % dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9,1 %. Impor daging, baik yang berasal dari sapi bakalan dan daging, selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan rata-rata 10,6 % dan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5 % dibanding tahun 2008. Hal ini berarti tidak menutup kemungkinan bahwa di tahun 2014 ketersedian daging di Indonesia akan naik mengingat analisis data sementara menunjukan bahwa hasil PSPK 2011 mampu menyediakan potential stock sapi potong berjumlah 2,5 juta ekor atau setara dengan daging dan jeroan berjumlah hampir 390 ribu ton. Jumlah tersebut masih ditambah sumbangan stock sebesar 72,1 ribu ton daging dan jeroan serta dari pejantan dan sapi perah afkir sebesar 7,2 ribu ton. Sehingga dari potensi stock sapi potong ditambah cadangan kerbau dan sapi perah yang berjumlah 468,71 ribu ton, Indonesia diperkirakan akan mengalami surplus daging sapi karena jumlahnya telah melampaui tingkat konsumsi daging masyarakat yang menurut hasil Susenas berjumlah sekitar 417,6 ribu ton. Selain itu, berdasarkan jenis kelamin, populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau betina lebih besar dibandingkan dengan populasi jantannya yaitu untuk sapi potong betina sebanyak 68,15%, sapi perah betina 78,93 % dan kerbau betina sebanyak 68, 76 %. Dari hasil sensus dinyatakan jumlah produksi sapi dan kerbau dalam negeri mencapai 15,7 juta ekor. Adapun jumlah sapi sebesar 14,43 juta ekor. Sementara kerbau berjumlah 1,33 juta ekor.
Saat ini populasi sapi potong terbesar terdapat di Jawa Timur dengan populasi sebesar 4,8 juta ekor. Lalu Jawa Tengah dan Jawa Barat menempati posisi kedua dan ketiga dengan jumlah popolasi sebesar 2,4 juta ekor dan 700 ribu ekor. Sementara popolasi di luar Jawa tertinggi terdapat di Sulawesi Selatansebanyak 1,2 juta. Selebihnya berada di Bali, NTB, dan NTT.
Dengan regulasi dan kebijakan yang telah dibuat, diharapkan pada tahun 2014 Indonesia mampu berswasembada daging. Penyediaan daging sapi dalam negeri dari produksi lokal pada tahun 2014 diproyeksikan sebesar 420,2 ribu ton. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,2% per tahun dan elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging sapi yang masih baik (>1). Dengan demikian total permintaan daging sapi untuk konsumsi dan industri pada tahun 2014 diproyeksikan sebesar 467,0 ribu ton. Dari simulasi dan perhitungan yang didasarkan pada data statistik yang tersedia, kebutuhan konsumsi daging mulai tahun 2013 telah dapat dipenuhi dari produksi lokal. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging diperkirakan masih diperlukan impor. Namun, import yang dilakukan haruslah melalui regulasi yang benar karena Importasi ternak sapi dan daging yang semakin besar dan melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri akan meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain dan dapat mengancam kedaulatan pangan sumber protein hewani sebagai komponen pencerdas bangsa. Impor yang sebelumnya dimaksudkan hanya sekedar mendukung dan menyambung kebutuhan daging domestic, ternyata justru telah berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal.
Selain itu pemerintah secara kongkret telah menetapkan 13 langkah strategis guna mencapai swasembada daging nasional. Sebagai evaluasi pelaksanaan 13 langkah strategis tersebut, perlu adanya tim independen guna melakukan monitoring dan evaluasi berkala (Yusdja et al. 2006).
Pemerintah juga telah membidik daerah-daerah yang berpotensi sebagai penghasil daging dan daerah tersebut akan terus digali potensinya. Dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3 kelompok daerah prioritas. Kelompok I Daerah Prioritas Inseminasi Buatan yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali. Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Strategi pengembangan sapi potong untuk menuju swasembada daging sapi telah dilakukan secara bertahap melalui perbaikan aspek usaha tani, pasca produksi dan penciptaan nilai tambah, kebijakan pemerintah serta perbaikan/pengembangan
pemasaran dan perdagangan dengan system kelembagaan yang sinergis. Langkah strategis ini dijabarkan dalam bentuk peta jalan (road map) menuju ”revolusi merah” pengembangan sapi potong . Pada aspek usaha tani, untuk memacu produksi perlu dilakukan (a) perluasan kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b) perbaikan mutu bibit dan reproduksi,(c) perbaikan budi daya, dan (d) perbaikan pascapanen, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi usaha tani dan pengolahan hasil. Pada aspek teknologi, perlu dilakukan penelitian secara terus-menerus untuk memperoleh inovasi teknologi dalam
perbibitan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan manajemen budi daya yang dapat peningkatkan kinerja sapi potong menjadi komoditas unggulan, antara lain :
a. Pembibitan sapi untuk menghasilkan induk maupun pejantan unggul untuk IB atau INKA. Kegiatan yang akan didukung pemerintah ini akan dilakukan oleh pusat-pusat pembibitan milik pemerintah, swasta atau masyarakat dalam suatu village breeding center (VBC).
b. Kegiatan perkembangbiakan atau cow calf operation (CCO) untuk menghasilkan sapi bakalan (feeder cattle) harus dilakukan secara ekstensif (grazing) atau secara intensif terintegrasi dengan agribisnis lainnya (crop livestock system, CLS). Kegiatan ini harus menerapkan prinsip low external input sustainable agriculture (LEISA) seperti yang direkomendasikan Badan Litbang Pertanian, atau dengan pendekatan zero waste dan bila memungkinkan mendekati zero cost, sehingga menghasilkan produk 4-F (food, feed, fertilizer & fuel).
c. Kegiatan penggemukan dilakukan dengan prinsip-prinsip agribisnis, efisiensi, dengan high or medium external input, serta berbasis pakan lokal dengan imbangan serat, energi dan protein yang ideal. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan bobot potong sesuai potensi genetiknya.
d. Tataniaga ternak hidup dan daging harus terkait erat dengan kegiatan budidaya (on farm), sehingga nilai tambah untuk peternak kecil yang mengusahakan perkembangbiakkan, pengusaha penggemukan serta pedagang, jagal dan pengecer daging relatif lebih adil, seimbang atau proporsionil.
Kegiatan untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 harus didukung dengan kelembagaan yang tepat, yang terdiri dari: (i) ilmuwan, pakar dan penyuluh, (ii) pelaku usaha, baik yang berskala menengah dan kecil maupun skala besar, serta (iii) pemerintah di tingkat pusat maupun daerah yang bertindak sebagai regulator, fasilitator, motivator dan dinamisator. Keberadaan kelompok peternak atau koperasi menjadi suatu keharusan, dan kerjasama kemitraan antara pihak-pihak terkait perlu diperluas.
Menurut Menteri Pertanian, kegiatan pokok “penyediaan bakalan/daging sapi lokal” diimplementasikan dalam beberapa kegiatan operasional yaitu :
(1) Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal
(2) Pengembangan pupuk organik dan biogas
(3) Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman
(4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH)
(5) Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (InKA)
(6)Penyediaan dan pengembangan pakan dan air;
(7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan. (8) penyelamatan sapi betina produktif
(9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibita;
(10) Pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre
(11) Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga (program Kredit Usaha Pembibitan Sapi/KUPS)
(12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi; dan
(13)Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging.
Selain program percepatan swasembada daging tersebut, pemerintah juga mencanangkan program pendukung lainnya. Beberapa program itu diantaranya program pembibitan ternak rakyat, program BATAMAS (Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat), program LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat), program SMD (Sarjana Membangun Desa), Sistem integrasi Tanaman –Ternak, program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian), dan pelarangan pemotongan betina produktif. Pada pengembangan program integrasi sapi- tanaman, misanya kelapa sawit-sapi mempunyai peluang yang sangat prospektif. Di dalam pola integrasi tersebut, tanaman kelapa sawit sebagai komponen utama sedangkan ternak sebagai komponen pelengkap. Limbah kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan adalah pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil inti sawit.
Perkiraan Swasembada Daging 2014
Pada tahun-tahun sebelumnya produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 masih berfluktuasi. Dari tahun 2005 sampai dengan 2006 mengalami peningkatan sebesar 19,2 %, lalu terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18,8 % dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9,1 %. Impor daging, baik yang berasal dari sapi bakalan dan daging, selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2008 mengalami peningkatan rata-rata 10,6 % dan pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 5 % dibanding tahun 2008. Hal ini berarti tidak menutup kemungkinan bahwa di tahun 2014 ketersedian daging di Indonesia akan naik mengingat analisis data sementara menunjukan bahwa hasil PSPK 2011 mampu menyediakan potential stock sapi potong berjumlah 2,5 juta ekor atau setara dengan daging dan jeroan berjumlah hampir 390 ribu ton. Jumlah tersebut masih ditambah sumbangan stock sebesar 72,1 ribu ton daging dan jeroan serta dari pejantan dan sapi perah afkir sebesar 7,2 ribu ton. Sehingga dari potensi stock sapi potong ditambah cadangan kerbau dan sapi perah yang berjumlah 468,71 ribu ton, Indonesia diperkirakan akan mengalami surplus daging sapi karena jumlahnya telah melampaui tingkat konsumsi daging masyarakat yang menurut hasil Susenas berjumlah sekitar 417,6 ribu ton. Selain itu, berdasarkan jenis kelamin, populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau betina lebih besar dibandingkan dengan populasi jantannya yaitu untuk sapi potong betina sebanyak 68,15%, sapi perah betina 78,93 % dan kerbau betina sebanyak 68, 76 %. Dari hasil sensus dinyatakan jumlah produksi sapi dan kerbau dalam negeri mencapai 15,7 juta ekor. Adapun jumlah sapi sebesar 14,43 juta ekor. Sementara kerbau berjumlah 1,33 juta ekor.
Saat ini populasi sapi potong terbesar terdapat di Jawa Timur dengan populasi sebesar 4,8 juta ekor. Lalu Jawa Tengah dan Jawa Barat menempati posisi kedua dan ketiga dengan jumlah popolasi sebesar 2,4 juta ekor dan 700 ribu ekor. Sementara popolasi di luar Jawa tertinggi terdapat di Sulawesi Selatansebanyak 1,2 juta. Selebihnya berada di Bali, NTB, dan NTT.
Dengan regulasi dan kebijakan yang telah dibuat, diharapkan pada tahun 2014 Indonesia mampu berswasembada daging. Penyediaan daging sapi dalam negeri dari produksi lokal pada tahun 2014 diproyeksikan sebesar 420,2 ribu ton. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 1,2% per tahun dan elastisitas pendapatan terhadap permintaan daging sapi yang masih baik (>1). Dengan demikian total permintaan daging sapi untuk konsumsi dan industri pada tahun 2014 diproyeksikan sebesar 467,0 ribu ton. Dari simulasi dan perhitungan yang didasarkan pada data statistik yang tersedia, kebutuhan konsumsi daging mulai tahun 2013 telah dapat dipenuhi dari produksi lokal. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging diperkirakan masih diperlukan impor. Namun, import yang dilakukan haruslah melalui regulasi yang benar karena Importasi ternak sapi dan daging yang semakin besar dan melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri akan meningkatkan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain dan dapat mengancam kedaulatan pangan sumber protein hewani sebagai komponen pencerdas bangsa. Impor yang sebelumnya dimaksudkan hanya sekedar mendukung dan menyambung kebutuhan daging domestic, ternyata justru telah berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal.
PENUTUP
Swasembada daging 2014 dapat terlaksana mengikat sumber daya lokal sangat mendukung. Indonesia memiliki lahan dan bibit yang memadai, hanya saja penerapan teknologi yang perlu dikembangkan. Pemerintah harus benar-benar melaksanakan semua program yang telah dicanangkan dengan baik. Dengan swasembada daging, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat dan sektor peternakan mampu berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan bangsa dan negara. Pembangunan kapasitas sumberdaya manusia disini merupakan kunci dalam menjalankan program swasembada daging.